Penyertaan Modal 20% Dana Desa ke BUMDes Dinilai Langgar PP 11/2019, Penghasilan Perangkat Desa Terancam Turun

Foto dari Kiri  Dimyati, Menteri Dalam Negeri Mardiyato, Dirjend PMD Persada Girsang  Sudir Santoso Ketua Parade Nusantara


Madiun – Jatimsatu.com
Kebijakan kewajiban penyertaan modal 20% Dana Desa ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dinilai menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini disampaikan Dimyati, aktivis dan penggiat desa, yang turut menjadi inisiator lahirnya Undang-Undang Desa. 

Ia menegaskan, kebijakan tersebut telah menyebabkan penurunan signifikan penghasilan tetap (siltap) aparatur desa, mulai dari Rp500 ribu hingga Rp2,5 juta per bulan.

“Mulai Juli ini sudah dirasakan dampaknya oleh perangkat desa. Di satu sisi aturan memaksa 20% Dana Desa masuk ke penyertaan modal BUMDes, padahal itu jelas masuk dalam pos pembiayaan, bukan belanja desa,” ujar Dimyati saat dihubungi, Kamis (20/6/2025).

Ia mencontohkan sebuah desa dengan total belanja sebesar Rp1,5 miliar dan alokasi Dana Desa Rp1 miliar. Dengan penyertaan modal ke BUMDes sebesar Rp200 juta (20%), maka sisa belanja desa hanya Rp1,3 miliar. Berdasarkan PP 11 Tahun 2019 Pasal 100 ayat (1) huruf b, penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa serta perangkatnya dibatasi maksimal 30% dari total belanja desa.

“Kalau 30% dari Rp1,3 miliar hanya sekitar Rp390 juta. Padahal kebutuhan untuk penghasilan tetap saja bagi 14 orang (Kepala Desa dan perangkat) mencapai Rp405 juta setahun. Belum termasuk tunjangan dan operasional BPD. Artinya sudah tidak mencukupi,” bebernya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa berdasarkan Permendagri 20 Tahun 2018 Pasal 28, penyertaan modal ke BUMDes termasuk dalam pembiayaan, bukan belanja desa. Sehingga ketika dimasukkan dalam penghitungan belanja, akan mempersempit ruang fiskal desa dan berdampak langsung pada kesejahteraan perangkat desa.

“Dalam enam bulan ke depan, bisa jadi BPD dan perangkat tidak menerima tunjangan sama sekali. Ini kebijakan daerah—baik dinas maupun camat—yang justru menyesatkan,” tegas Dimyati.

Ia mengkritisi logika kebijakan yang tidak berpihak kepada aparatur desa, dan mendesak agar para kepala desa serta anggota BPD melakukan perhitungan ulang terhadap anggaran penghasilan dan tunjangan yang mereka terima.

“Tidak ada peraturan dibuat untuk menyengsarakan. Semua regulasi seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan aparatur desa. Jika implementasi kebijakan justru menurunkan hak-hak tersebut, maka patut dipertanyakan cara berpikirnya,” pungkas Dimyati.(abw)

0/Post a Comment/Comments

Dibaca